Kamis, 28 November 2013

“Slow food”, Alternatif untuk Gaya Hidup Sehat

Slow food mencuat pada sekitar akhir dekade 1980-an di Italia. Perintisnya adalah Arcigola. Namun , secara resmi, gerakan slow food didirikan oleh Carlo Petrini yang berpusat di dekat Turin , Italia. Hingga kini, gerakan slow food terus menyebar hingga berbagai negara.

Prinsip
Secara singkat, gerakan slow food bertujuan kembali ke makanan lokal. Maraknya beragam jenis fast food yang dipandang kurang sehat juga menjadi pemicu penyebaran gerakan ini. Inti utama dari gerakan ini adalah mempromosikan kembali bahan makanan dan kuliner asli setempat dan berusaha menangkal dampak negatif dari konsumsi fast food dan makanan lain dalam kemasan.
Kegiatan yang dilakukan anggota gerkan slow food pun cukup aktif, diantaranya festval makanan dan minuman terutama yang menggunakan bahan-bahan organik, publikasi kegiatan, dan perguruan tinggi dengan bidang studi mengenai gastronomi. Gerakan slow food sebenarnya juga bertujuan untuk mendukung makanan yang dibuat dengan proses alami.
Namun, slow food berbeda dengan slow cooking. Slow cooking merupakan proses pengolahan mkanan dengan cara lambat sehingga memakan waktu yang cukup lama. Sementara itu, slow food lebih menekankan pada kandungan bahan-bahan segar yang diolah menjadi makanan atau makanan tradisional. Slow cooking bisa menjadi salah satu metode pengolahan makanan untuk menjadi slow food. Namun, tidak semua slow food dimasak dengan slow cooking.
Karakteristik
Penekanan suasana yang santai dan tidak terburu-buru menjadi ciri khas slow food. Slow food mendukung pentingnya suasana menikmati makanan dalam kondisi yang tenang dan rilaks. Penganut gerakan slow food percaya, bahwa dengan menikmati makanan dalam suasana tenang dan rilaks, pencernaan pun akan berfungsi dengan optimal dalam mencerna makanan.
Slow food juga mendukung bahan makanan yang masih segar dan bukan diawetkan. Dengan bahan makanan yang segar, manfaat gizi di dalamnya akan tetap utuh dan tidak berkurang akibat proses pengolahan.
Gerakan ini juga “dekat” dengan gerakan bahan makanan organik. Slow food memang lebih mengutamakan hasil panen berupa sayuran dan buah yang diproduksi petani, tetapi tanpa menggunakan obat pembasmi hama dan pestisida.
Menariknya, karena menekankan segala sesuatu berbahan alami dalam makanan, slow food menentang penggunaan bahan makanan tambahan seperti penyedap atau penguat rasa buatan, bumbu instan, pewarna makanan sintesis, pemanis buatan, dan zat-zat kimia lain yang ditambahkan dalam makanan.

Di Indonesia
Indonesia adalah negara yang kaya akan bahan pangan berupa rempah-rempah. Rempah-rempah tersebut bisa menjadi pendorong pemberlakuan gerakan slow food. Sebagai contoh, penggunaan bahan –bahan seperti kunyit, jahe, pala, merica, bawang merah, bawang putih, lengkuas, daun salam, dan sebagainya.
Bumbu-bumbu rempah itulah yang didorong penggunaannya oleh slow food. Karena tidak menggunakan tambahan penyedap rasa buatan, slow food sangat mendukung pemanfaatan bumbu-bumbu yang didapatkan secara alami.
Sayangnya, gaung gerakan ini masih samar. Masih banyak masyarakat Indonesia yang rela antri demi mendapatkan fast foot, tetapi rela melupakan bahan makan asli sesuai tradisi mereka. Kini, ada baiknya kita lebih memperhatikan ragam kuliner di negeri sendiri dibandingkan makanan yang belum tentu sehat dan menyerbu Indonesia. (*/MIL)

Sumber: Kompas/Klasika, 22 Nov 13      

Tidak ada komentar: